JAKARTA SNN – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka kemungkinan pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan perkara korupsi terkait pemenuhan kewajiban obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) diadili secara “in absentia” atau upaya mengadili seseorang dan menghukumnya tanpa dihadiri oleh terdakwa tersebut.
“Kami berniat kasus ini disidangkan secara ‘in absentia’, saya sekali lagi berpikir sebaiknya kepada yang bersangkutan bisa membela hak-haknya di pengadilan karena di pengadilan ‘in absentia’ agak susah bila menghadirkan keterangan yang sepihak,” kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, di Gedung KPK Jakarta, Senin 10 juni kemarin.
KPK pada hari ini mengumumkan penetapan Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim tersangka dugaan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Kepala BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI kepada BPPN yang menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp4,58 triliun.
Terkait perkara ini sudah ada mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung yang putusannya sudah di tingkat banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan dinyatakan bersalah divonis selama 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Dalam proses penyelidikan sejak Agustus 2019, KPK juga sudah mengirimkan surat panggilan kepada Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim baik ke alamat di Indonesia maupun Singapura yaitu pada 8-9 Oktober 2018, 22 Oktober 2018, dan 28 Desember 2018 namun tidak ada panggilan yang dipenuhi keduanya.
“Sekali lagi pengumuman hari ini juga merupakan panggilan kepada yang bersangkutan untuk kooperatif. Kita memang ssudah yakin seandainya yang bersangkutan tidak kooperatif akan disidangkan secara in absentia, tapi kerja sama-kerja sama internasional KPK mengupayakan semaksimal mungkin agar bisa disidangkan,” ujar Laode.
Sejumlah upaya juga sudah dilakukan KPK, misalnya kerja sama antara lembaga penegak hukum khususnya lembaga penegak hukum antikorupsi baik bilateral, regional maupun multilateral.
“Kita punya jaringan kedua yaitu Interpol dengan minta bantuan kepolisian dan ketiga pihak Imigrasi kita juga bisa melakukan hal yang sama. Selain itu, jalur-jalur diplomatik dengan menggunakan perwakilan RI di luar negeri atau lokasi yang dianggap tempatnya sekarang kami terus melakukan koordinasi,” ungkap Laode.
Sidang “in absentia” perkara korupsi diatur dalam pasal 38 ayat (1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya; (3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah atau diberitahukan kepada kuasanya; (5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.
Sudah pernah ada juga kasus korupsi yang disidangkan secara “in absentia”, yaitu Hesham Al Warraq dan Rafat Ali Rizvi pada 2010 dalam kasus korupsi Bank Century.
Majelis hakim yang diketuai Marsudin Nainggolan dalam persidangan yang berlangsung secara “in absentia” menyatakan, kedua terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang, yang menimbulkan kerugian bagi negara sebesar Rp3,1 triliun.
Selain menjatuhkan hukuman penjara, kedua terdakwa juga diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp3,1 triliun, plus denda Rp15 miliar dengan subsider enam bulan kurungan.